Minggu, 15 Juli 2012

Tikam aku dengan senyumanmu !

Pancarkanlah
senyuman khasmu itu disetiap sudut jalan hidupmu

Disetiap malam yang gelap dan pekat yang penuh rintangan dan tantangan


disetiap keberhasilan dan kegagalan


perjuangan dan pengorbanan

adalah kekuatanmu

jangan biarkan jalan berliku dan terjal penuh duri rintangan dan batu tajam melemahkanmu


dikala kemenangan dan kebahagiaan tak berpihak kepadamu

dikala kau tertimpa musibah
dikala kau terjatuh
dikala kau merasa lemah dan sendiri
dikala duka adalah teman yang paling setia bagimu

jangan biarkan mereka melemahkanmu


gapailah bintang dilangit ketujuh dengan kekuatanmu !


Diruang ini yang kusebut waktu

aku s'lalu merindukan senyuman khasmu disetiap malam-malamm

Akulah Arjuna dengan sebilah keris dipinggul

Disini dibumi para sultan

aku masih menari-nari

mengitari nyala lilin waktu yang terus meleleh

akulah arjuna yang dihujam ribuan anak panah air gerimis dengan sebilah keris dipinggul


disetiap langkahku selalu dikelilingi werkudara dan para pandawa.

Mataku semerah mata Marcopolo

Marcopolo ! darahmu yang panas itu menyatu dan mengalir segar didarahku

perlahan-lahan kemudian secara keseluruhan


kan kuterjang mata angin dari segala penjuru

tak perduli milyaraan kilometer dan rasa takut yang selalu menggerogoti disetiap jejak yang kutapaki

auh !

sudah seharusnya kubunuh rasa takut itu
siapa dia berani menakut-nakutiku ?

jejak-jejakmu hidup liar bergelayutan dipikiranku

dan matamu adalah mataku
aku memang belum menapaki semua jejak-jejakmu
tapi aku t'lah berani melangkahkan cakarku kewajahmu.

Pertanda

seribu badai luka menerjang aku dengan pedang pedangnya
mengiris, menusuk, dan mencabik cabik tubuhku,
aku menari nari diatas rintihan dan luka

aarrggkkhh...aku meronta ronta
hingga darahku berceceran
lalu kupunguti tetesan demi tetesan kedalam kantong segi empat berwarna bening supaya berubah menjadi merah menggelora, menyala, dan membara

kemudian kucecar darah merah kentalku yang menggumpal itu diantara bebatuan besar yang menua agar menyala menjadi kobaran api besar
sebagai senjata pemecah belah petir petir yang menggelegar

dguaarrrr !!!

darah merahku
mendidih sampai keubun ubun
ketika jemari tanganku mengepal pertanda peperangan telah dimulai.

Selasa, 27 Desember 2011

BELENGGU CINTANYA

Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :














Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang,

Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!

Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”

Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”

Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

">

"Bacanya yang keras ya Pa ..."














Semuanya itu disadari John pada saat dia termenung seorang diri, menatap kosong keluar jendela rumahnya. Dengan susah payah ia mencoba untuk memikirkan mengenai pekerjaannya yang menumpuk. Semuanya sia-sia belaka.

Yang ada dalam pikirannya hanyalah perkataan anaknya Magy di suatu sore sekitar 3 minggu yang lalu. Malam itu, 3 minggu yang lalu John membawa pekerjaannya pulang. Ada rapat umum yang sangat penting besok pagi dengan para pemegang saham.

Pada saat John memeriksa pekerjaannya, Magy putrinya yang baru berusia 4 tahun datang menghampiri, sambil membawa buku ceritanya yang masih baru. Buku baru bersampul hijau dengan gambar peri. Dia berkata dengan �suara manjanya, "Papa lihat!" John menengok kearahnya dan berkata, "Wah, buku baru ya?" "Ya Papa!" katanya berseri-seri, "Bacain dong!" "Wah, Ayah sedang sibuk sekali, jangan sekarang deh", kata John dengan cepat sambil mengalihkan perhatiannya pada tumpukan kertas di depan hidungnya.

Magy hanya berdiri terpaku disamping John sambil memperhatikan. Lalu dengan suaranya yang lembut dan sedikit dibuat-buat mulai merayu kembali "Tapi mama bilang Papa akan membacakannya untuk Magy". Dengan perasaan agak kesal John menjawab: "Magy dengar, Papa sangat sibuk. Minta saja Mama untuk membacakannya". "Tapi Mama lebih sibuk daripada Papa" katanya sendu. "Lihat Papa, gambarnya bagus dan lucu." "Lain kali Magy, sana! Papa sedang banyak kerjaan."

John berusaha untuk tidak memperhatikan Magy lagi. Waktu berlalu, Magy masih berdiri kaku disebelah Ayahnya sambil memegang erat bukunya. Lama sekali John mengacuhkan anaknya. Tiba-tiba Magy mulai lagi "Tapi Papa, gambarnya bagus sekali dan ceritanya pasti bagus! Papa pasti akan suka". "Magy, sekali lagi Ayah bilang: Lain kali!" dengan agak keras John membentak anaknya.

Hampir menangis Magy mulai menjauh, "Iya deh, lain kali ya Papa, lain kali". Tapi Magy kemudian mendekati Ayahnya sambil menyentuh lembut tangannya, menaruh bukunya dipangkuan sang Ayah sambil berkata "Kapan saja Papa ada waktu ya, Papa tidak usah baca untuk Magy, baca saja untuk Papa. Tapi kalau Papa bisa, bacanya yang keras ya, supaya Magy juga bisa ikut dengar".

John hanya diam. Kejadian 3 minggu yang lalu itulah sekarang yang ada dalam pikiran John. John teringat akan Magy yang dengan penuh pengertian mengalah. Magy yang baru berusia 4 tahun meletakkan tangannya yang mungil diatas tangannya yang kasar mengatakan: "Tapi kalau bisa bacanya yang keras ya Pa, supaya Magy bisa ikut dengar". Dan karena itulah John mulai membuka buku cerita yang diambilnya, dari tumpukan mainan Magy di pojok ruangan.

Bukunya sudah tidak terlalu baru, sampulnya sudah mulai usang dan koyak. John mulai membuka halaman pertama dan dengan suara parau mulai membacanya. John sudah melupakan pekerjaannya yang dulunya amat sangat penting. Ia bahkan lupa akan kemarahan dan kebenciannya terhadap pemuda mabuk yang dengan kencangnya menghantam tubuh putrinya di jalan depan rumah. John terus membaca halaman demi halaman sekeras mungkin, cukup keras bagi Magy untuk dapat mendengar dari tempat peristirahatannya yang terakhir. Mungkin...

JANGAN JADIKAN DIRI ANDA SEPERTI JOHN, SAAT SEMUANYA TERJADI,PENYESALAN SUDAH SANGAT TERLAMBAT...... LAKUKAN SESUATU SEBELUM ANDA TERLAMBAT UNTUK MENYADARINYA, BERIKANLAH KEBAHAGIAAN BAGI MEREKA YANG ANDA CINTAI. APAKAH ANDA BENAR-BENAR MENCINTAI MEREKA?


http://dudung.net/index.php?naon=depan&action=detail&id=232&cat=3

Senin, 26 Desember 2011

Asal-Usul Suku Kubu Jambi











1. Pengantar
Desamu pernah kedatangan kafilah suku Kubu?, hingga saat ini jalan 22 unit 3 masih kerap disambangi pribumi asli Jambi ini. Hal yang sama juga terjadi di jalan 23 unit 3, kafilah ini biasanya bermukim diantara sekolah dasar 334/II dan jalan 23 unit 3. Jambi adalah sebuah propinsi yang ada di Indonesia. Di sana ada sebuah masyarakat yang dikategorikan sebagai terasing, yaitu masyarakat Kubu. Mereka tersebar secara mengelompok di daerah pedalaman (hutan) pada beberapa kabupaten yang tergabung dalam wilayah Provinsi Jambi, yakni: Bungo Tebo, Sarolangun Bangko dan Batanghari. Ini artinya hanya Kotamadya Jambi, Kerinci, dan Tanjungjabung yang “bebas” dari orang Kubu. Mungkin inilah yang kemudian membuat seseorang jika mendengar kata “Kubu” maka yang ada di kepalanya adalah Jambi, walaupun orang Kubu ada juga di daerah Sumatera Selatan; tepatnya di Kecamatan Rawas Ilir, Kabupaten Musi Rawas (Melalatoa, 1995).

Pada tahun 2000, tepatnya tanggal 23 Agustus 2000, sebagian wilayahnya diresmikan sebagai Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan, dan dideklamasikan oleh Presiden RI pada tahun 2001 di Jambi. Taman yang merupakan kawasan hutan konservasi ini secara keseluruhan luasnya 60.500 hektar, dengan rincian: 6.758 hektar ada di wilayah kabupaten Sarolangon, 40.669 hektar ada di Kabupaten Batanghari, 12.483 hektar ada di Kabupaten Tebo (ada selisih 590 hektar dengan yang disebutkan dalam SK Menteri Kehutanan). Ini artinya, TNBD yang secara astronomis terletak di antara 1º45’–1º58’ Lintang Selatan dan 102º32’–102º59’ Bujur Selatan ini, secara administratif termasuk dalam wilayah tiga kabupaten yang bersangkutan.


Alamnya berupa dataran rendah, bergelombang (dengan kemiringan 2–40º Celcius) dan perbukitan dengan ketinggian 50–438 meter dari permukaan air laut. Bukit tertinggi adalah Bukit Kuran yang tingginya kurang lebih 438 meter dari permukaan air laut. Perbukitan itu sebagian besar diselimuti oleh hutan sekunder, bekas areal konsesi HPH. Hutan alam yang masih tersisa, selain terdpat di areal cagar biosfer Bukit Dua Belas, juga di bagian utara cagar tersebut yang sebagian besr berstatus sebagai Hutan produksi Terbatas (HPT), dan sebelah timur cagar yang luasnya terbatas. Hutan ini merupakan hutan tropis dataran rendah yang menjadi habitat satwa liar, seperti tapir (tapirus indicus), dan harimau sumatera (panthera tigris sumatera). Jenis tanahnya didominasi oleh podsolik yang tidak terlalu subur dan mudah tererosi.

Wilayah yang disebut sebagai Bukit Dua Belas ini berada di bagian tengah Propinsi Jambi. Ia berada di antara jalur-jalur perhubungan darat, yakni di antara lintas tengah dan timur Sumatera, serta lintas tengah Jambi. Ia juga diapit oleh empat sungai yang cukup besar, yakni Sungai: Batang-hari yang berada di bagian utara, Tabur yang berada di bagian barat, Tembesi yang berada di bagian timur, dan Merangin yang berada di bagian selatan.

2. Asal Usul
Berdasarkan Kelisanan
Ada berbagai versi tentang asal-usul orang Kubu. Versi pertama mengatakan bahwa mereka berasal dari Sumatera Barat. Konon, mereka adalah orang-orang yang tidak mau dijajah oleh Belanda. Untuk itu, mereka masuk ke hutan dan mengembara sampai akhirnya ada di daerah Jambi.

Versi kedua mengatakan bahwa mereka adalah tentara yang tersesat. Konon, pada zaman Kerajaan Jambi diperintah oleh Putri Selaras Pinang Masak, kerajaan diserang oleh Orang Kayo Hitam yang menguasai Ujung Jabung (Selat Berhala). Serangan itu membuat Jambi kewalahan. Untuk itu, Ratu Jambi yang notabene adalah keturunan Kerajaan Minangkabau mohon bantuan kepada Raja Pagaruyung. Dan, Sang Raja memperkenankan permohonannya dengan mengirimkan pasukan ke Jambi melalui jalan darat (menyusuri hutan belantara). Suatu saat ketika sampai di Bukit Duabelas mereka kehabisan bekal, padahal sudah jauh dari Pagaruyung dan masih jauh dari Jambi. Kemudian, mereka bermusyawarah dan hasilnya kesepakatan untuk tetap tinggal di tempat tersebut, dengan pertimbangan jika kembali ke Pagaruyung disamping malu juga bukan hal yang mustahil akan dihukum oleh rajanya. Sementara itu, jika meneruskan perjalanan ke Jambi disamping masih jauh juga bekal tidak ada lagi. Kemudian, mereka bersumpah untuk tetap tinggal di tempat itu dengan ketentuan siapa saja melanggarnya akan terkutuk dan hidupnya sengsara. Sumpah itu adalah sebagai berikut:

“Ke mudik dikutuk Rajo Minangkabau, ke hilir kena kutuk Rajo Jambi, ke atas tidak berpucuk, di tengah-tengah dimakan kumbang, kebawah tidak berurat, ditimpo kayu punggur” (Kembali ke Minangkabau dikutuk Raja Minangkabau, ke hilir dikutuk Raja Jambi, ke atas tidak berpucuk, di tengah-tengah dimakan, kumbang, ke bawah tidak berakar, ditimpa kayu lapuk).

Para tentara Pagaruyung yang membawa isteri dan tersest di Bukit Duabelas itulah yang kemudian menurunkan orang Kubu. Terpilihnya bukit ini sangat beralasan karena di sana banyak batu-batu besar yang sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai benteng. Selain itu, di sana asa sumber air dan sungai-sungai kecil yang menyediakan berbagai jenis ikan yang sangat dibutuhkan dalam keberlangsungan hidup mereka.

Versi ketiga mengatakan bahwa orang Kubu adalah keturunan Bujang Perantau dan Puteri Buah Gelumpang. Konon, pada zaman dahulu ada seorang perantau laki-laki yang bernama Bujang Perantau. Ketika perantau itu sampai di Bukit Duabelas, suatu malam ia bermimpi. Di dalam mimpinya ia disuruh agar mengambil buah gelumpang, kemudian buah itu dibungkus dengan kain putih. Jika itu dilakukan maka akan timbul keajaiban. Begitu bangun, ia langsung melakukannya. Buah gelumpang yang dibungkus dengan kain putih itu menjelma menjadi seorang puteri yang sangat cantik (Puteri Buah Gelumpang). Setelah besar, Sang Puteri mengajak kawin. Akan tetapi, Bujang Perantau menjawab bahwa tidak ada orang yang mau mengawinkan. Mendengar jawaban itu Sang Puteri menyarankan agar Bujang Perantau menebang pohon bayur kemudian dikupas agar licin dan dilintangkan di sungai. Bujang Perantau disuruhnya meniti dari salah satu ujung batangnya. Sementara, Puteri Buah Gelum-pang meniti dari ujung yang satunya lagi. Jika di tengah titian tersebut mereka bertemu dan beradu kening, maka itu berarti syah menjadi suami-isteri. Dan, ternyata mereka dapat melakukannya dengan baik. Oleh karena itu, mereka syah menjadi suami-isteri. Perkawinan mereka membuahkan 4 orang anak, yaitu Bujang Malangi, Bujang Dewo, Puteri Gading, dan Puteri Selaro Pinang Masak. Anak pertama disebut pangkal waris dan anak terakhir disebut ujung waris.

Alkisah, Bujang Malapangi dan Puteri Selaro Pinang Masak keluar hutan dan mendirikan kampung. Dan, ini berarti mengikuti jejak ayahnya sebagai orang terang. Sementara itu, Bujang Dewo dan Puteri Gading tetap berada di hutan mengikuti jejak ibunya sebagai Orang Rimbo. Perpisahan kedua kelompok saudara ini menimbulkan perselisihan, tetapi masing-masing tetap mengakui sebagai kerabat. Untuk itu, perlu dibedakan antara yang berkampung dengan yang tetap di hutan dengan persumpahan. Sumpah Bujang Malapangi yang ditujukan kepada Bujang Dewo adalah sebagai berikut:

“Yang tidak menyam-but arah perintah diri waris dusun, bilo waris menemui di rimbo dilancungkan dengan maka seperti babi, biawak, tenuk, dan ular sawa; keno kutuk ayak pertuanan, keno sumpah seluruh Jambi ….”. Artinya dari sumpah ini ialah bahwa orang Rimbo itu adalah orang yang tidak mau nurut saudara tua (pangkal waris), bila saudara tua menemuinya di hutan disuguhi babi, benuk, biawak, dan ular (semua binatang ini, orang terang dilarang memakannya); bakal dimarahi seluruh orang Jambi.

Sumpah Bujang Dewo ditujukan kepada Bujang Malapangi yang sudah menjadi orang Terang:

”Di air ditangkap buaya, di darat ditangkap harimau kumbang, d-itimpo kayu punggur, ke atas dikutuk pisau kawi, ke bawah keno masrum kalimah Allah, di arak kabangiyang, ditimpo langit berbelang, ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berakar, …. dan orang yang berkampung itu adalah: “berpadang pinang, berpadang kelapo, dislamkan, rapat dilur rencong di dalam, bersuruk budi bertanam akal, berdaging dua, bergantang dua, bercupak dua”. Arti dari sumpah itu ialah bahwa orang yang berkampung itu adalah orang yang celaka ibarat orang yang kemanapun celaka, ke air dimakan buaya, ke darat dimakan harimau, ditimpa kayu punggur, dikutuk oleh senjata keramat, terkena laknat kalimah Allah, selalu diikuti setan, tertimpa langit di sore hari, tidak punya atasan dan tidak punya bawahan; adapun tandanya adalah: menanam pinang, kelapa, dislamkan; baik di luar busuk di dalam, tidak berbudi dan mengakali orang, berpedoman dua/tidak punya pendirian.

Walaupun demikian, ada semacam kesepakatan bahwa Bujang Malapangi dan keturunannya tetap dianggap pangkal waris dan berkedudukan di desa, sedangkan yang tetap tinggal di hutan dapat terus mempertahankan adat nenek moyang (Bujang Perantau dengan Putri Buah Gelumpang).

Versi keempat menceriterakan bahwa, konon pada masa lalu pantai Pulau Sumatera sering didatangi para bajak laut. Mereka biasanya datang bersama isteri dan anaknya. Suatu saat seorang anak lelakinya diketahui berhubungan intim dengan adik perempuannya. Padahal, hubungan seperti itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh mereka. Oleh karena itu, kedua insan yang berbeda jenis kelaminnya itu dikenakan sanksi berupa pengucilan, yaitu ditinggalkan atau dibiarkan hidup berdua di hutan. Bahkan, bukan hanya itu; mereka tidak diperbolehkan untuk memper-lihatkan diri kepada orang lain. Di sanalah mereka akhirnya beranak-pinak kemudian mendirikan suatu perkampungan di daerah Ulu Kepayang, dekat Dusun Penamping yang terletak di pinggir sungai Lalan (sekarang termasuk dalam wilayah Propinsi Sumatera Selatan). Konon, inilah perkampungan pertama mereka.

Tampaknya perlu diketahui juga bahwa orang Kubu banyak yang berpindah ke Tanjung Semiring; tepatnya di tepi sungai Lalan, di hilir Dusun Karang Agung. Di daerah tersebut ada seorang yang bernama Temenggung. Orang itu kemudian diangkat sebagai kepala suku. Oleh karena itu, kepala Orang Kubu disebut sebagai temenggung. Mereka yang berada di daerah ini disebut dengan nama lebar Telapak, karena ciri fisik mereka yaitu dengan bentuk kaki yang lebar terutama kaum laki-lakinya. Dari Tumenggung yang berasal dari Blidah, Dusun Cambai dengan istrinya yang bernama Polot dari marga betung di daerah Banyuasin, Dusun Gemuruh, mereka memperoleh 6 (enam) orang anak laki-laki yang setiap orangnya mempunyai sifat dan keahlian yang dimiliki oleh masyarakat Kubu, yakni: 1) sejaring pandai dalam hal menangkap ikan atau menjala ikan, 2) semincan atau semancam adalah sifat pengancam atau sifat pemberani, 3) semobah atau perobah adalah sifat yang senang berpindah-pindah/pemindah, 4) sebauk adalah ciri orang yang dihormati biasanya orang yang berjanggut atau berdagu ganda, 5) senanding adalah sifat pedagang, 6) semubung adalah sifat pendukung atau bekerjasama atau perantara. Nama-nama tersebut di atas juga dikenakan oleh Temenggung sendiri, dengan harapan seorang Tumenggung akan memiliki atau mempunyai keenak sifat dan keahlian tadi. Sifat yang paling menonjol bagi seorang Temengung adalah senang mengem-bara, berpindah-pindah tempat bersama istri dan anak-anaknya. Seperti halnya perpindahan mereka ke teluk Sendawar di tepi sungai Lalan, antara daerah Bayung Lincir dan Muara Bahar. Di tempat ini pun mereka tidak bertahan lama, mereka berpindah lagi ke daerah Rambahan di tepi sungai ke arah hulu Muara Bahar. Di daerah ini mereka menetap agal lama, sampai mereka beranak-pinak. Setelah itu Temenggung beserta istrinya scara tiba-tiba menghilang dan tidak pernah kembali lagi, menurut kepercayaan masyarakat suku Anak Dalam temenggung dan istrinya tidak meninggal dunia. Setelah ditinggal pergi Temenggung dan istrinya, seluruh keturunan mereka mengadakan pertemuan atau mu-syawarah di Muara Bahar. Mereka berkeinginan untuk memisahkan diri, masing-masing ingin mencari tempat tinggal sendiri-sendiri, oleh karena itulah nama Muara Bahar juga dikenal dengan nama Muara Lebaran yakni tempat dimana mereka mulai berpencar, berpisah. Tetapi ada juga masyarakat Kubu yang tetap tinggal di ulu Kepayang, tidak ikut dalam perpindahan tetapi menetap di sekitar dusun penamping (daerah sekitar Muara Bahar).

Mereka sangat jarang menceritakan asal usul, keturunan atau atau silsilah mereka, karena mereka tahu dan merasa bahwa mereka merupakan keturunan dari hasil perbuatan sumbang (incest). Disamping dianggap kurang sopan juga merupakan aib atau noda bagi diri mereka sendiri. Untuk menyebutkan nama orang tuanya pun mereka merasa cemas, karena mereka takut akan mendapatkan malapetaka, mendatangkan pengaruh jahat. Apalagi menyebutkan cikal bakal mereka yang melakukan zinah. Oleh sebab itu mereka lebih senang mengatakan bahwa cikal bakal mereka berasal dari Temenggung dan Polot. Dari keturunan Temenggung dari sebagian pergi ke Nyarang yakni sebuah sungai kecil di sebelah hilir dusun bakung. Sebagian lagi pergi ke arah hulu sungai Bahar, sebagian lain menetap di sepanjang sungai Bayat dan mendirikan perkampungan Kelapa Sebatang. Dinamakan kampung Kelapa Sebatang karena orang kubu disitu telah menanam sebatang pohon kelapa sebagai hiasan. Namun, buah kelapa yang telah dihasilkan dari pohon tersebut, tidak ada yang berani mengambil dan memakannya, karena menurut anggapan mereka sesuatu yang ditanam atau dipelihara apabila dimakan akan membuat mereka jatuh sakit. Suatu ketika ada orang luar yang datang ke perkampungan mereka dan bertanya mengapa buah kelapa tersebut tidak dimanfaatkan atau dimakan, orang Kubu menjawab bahwa buah kelapa bisa membuat orang mabuk dan tidak baik. Oleh orang luar tadi diberitahukan bahwa air kelapa manis rasanya dan dagingnya enak, orang tersebut mengambil sebutir kelapa dan mengupasnya serta meminum air serta memakan daging-nya. Setelah melihat bahwa memang tidak berakibat apa-apa, maka orang-orang Kubu pun baru percaya bahwa air kelapa dan daing kelapa ternyata bermanfaat bagi manusia. Setelah kedatngan orang luar tadi, mereka berpindah tempat lagi dan mendirikan perkampungan baru yang terletak di antara daerah Lubuk Malang dan Laman Petai, mereka menamakan kampung tersebut dengan nama Kelapa Banyak, karena mereka mulai menanami daerah tersebut dengan pohon-pohon kelapa. Demikianlah sampai akhirnya perpindahan masyarakat Kubu sampai ke daerah Jambi sekarang ini.

Versi kelima mengatakan bahwa masyarakat Suku Anak Dalam atau Kubu adalah orang-orang dari kerajaan Sriwijaya. Pada saat Sriwijaya mengalami keruntuhan karena serangan kerajaan Cola (India), orang-orang Sriwijaya yang tidak mau tunduk di bawah kekuasaan asing tadi melarikan diri ke hutan, sehingga mereka akhirnya dikenal sebagai orang Kubu seperti saat sekarang ini.

Berdasarkan Literatur
Ras Paleo-Mongolid atau Melayu Tua merupakan asal-usul bangsa Melayu yang paling banyak ditemui di Indonesia yang oleh Von Eickstedt digolongan atau dike-lompokan lagi dalam istilah Proto Melayu dan Deustero Melayu. Salah satu unsur dari sisa ras tersebut yang dapat dijumpai di Indonesia adalah yang disebut dengan nama Weddid atau Weddoid. Nama tersebut berasal dari nama bangsa Wedda yang hidup di Sri langka, dengan ciri-ciri fisik antara lain rambut berombak tegang atau kaku, dan lengkung alis yang agak menjorok ke depan. Di Indonesia tipe itu terutama dijumpai di semenanjung barat daya Sulawesi (daerah Toala, Tomuna, dan tokea), di Sumatera Selatan dan Jambi, yakni suku Kubu, semua itu masuk dalam golongan Proto-Melayu mempunyai ciri-ciri fisik antara lain badan agak tinggi dibandingkan dengan kelompok yang pertama, ramping, bundar wajahnya, bibir tebal, hidung lebar dan pesek, rambut kejur hitam, dan wajah mirip raut wajah Mongol seperti tulang pipi menonjol dan mata sipit. Golongan pertama dianggap yang mula-mula datang ke nusantara, kemudian didesak atau terdesak oleh golongan yang kedua ke pedalaman. Proto-Melayu dianggap sebagai kelompok yang lebih murni, sedangkan Deutero-Melayu telah mengalami berbagai kelompok yang lebih murni, sedangkan Deutero-Melayu telah mengalami berbagai pengaruh atau campuran dengan sukubangsa di pesisir. Ini artinya bahwa Orang Kubu termasuk dalam Paleo-Mongoloid.

Sumber:

Galba, Sindu. 2002. “Manusia dan Kebudayaan Kubu” (Nasakah Laporan Hasil Penelitian)

Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A–K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.